Senin, 09 November 2015

Misteri Hotel Niagara Lawang

Niagara
Kata-kata seperti ini memang sudah biasa dialamatkan pada hotel berlantai lima yang dibangun pada 1918 tersebut. Di kompleks hotel memang ada semacam prasasti beraksara Tiongkok yang menyatakan tahun pendirian hotel. Ya, ampun, berarti usia Hotel Niagara sudah 88 tahun. Arsiteknya Fritz Joseph Pinedo, pria berdarah Brasil yang hidup di Indonesia pada masa pendudukan Belanda.

Nah, saking tuanya bangunan ini, dan warga praktis tak pernah masuk ke sana, image yang berkembang kurang positif. Ada hantunya. Tempat orang bunuh diri. Kamar berdarah. Hingga tempat penimbunan senjata-senjata tradisional. Image ini makin kuat karena Hotel Niagara sempat mangkrak cukup lama. Kini pun dua lantai teratas (lantai 4 dan 5) selalu gelap karena belum dipakai.

Saya kurang percaya dengan rumor-rumor gelap macam ini. Apalagi, belum lama ini sejumlah wartawan senior Jakarta bersama Ikatan Arsitek Indonesia menggelar diklat di Hotel Niagara. “Tidak ada apa-apa. Justru hotel ini sangat indah,” kata Jay Subiyakto dari Jakarta.


WS Rendra pun pernah menginap di Niagara dan kesan penyair terkenal itu sangat positif. “Anda perlu menikmati keindahan Hotel Niagara, lalu buat sebuah tulisan,” begitu pesan istri seorang bekas diplomat asing di Surabaya suatu ketika.

Maka, saya pun mencoba menginap satu malam di Hotel Niagara. Masuk ke ruang resepsionis, suasana sepi. Hanya ada Tatik, resepsionis. “Silakan pilih kamar, tapi kami tidak bisa beri informasi apa-apa tentang hotel ini,” ujar Tatik seraya tersenyum. Ternyata, jawaban serupa pernah disampaikan kepada wartawan Jakarta Post, koran berbahasa Inggris terbitan Jakarta.


Daftar tarif yang terpampang di muka resepsionis mengagetkan saya. Terlalu murah untuk ukuran hotel yang boleh dibilang paling bersejarah di kawasan Malang Raya. Kamar ‘mewah’ cukup Rp 90 ribu dan Rp 150 ribu. Khusus di lantai 3, yang kamar mandinya di luar, tarif semalam Rp 60 ribu. Padahal, di Kota Malang tarif hotel melati berfasilitas paling minim, kamar mandi luar, minimal Rp 80 ribu.

Saya memilih lantai 3 (kamar 306), dengan pertimbangan letaknya paling tinggi, mudah ‘bermain-main’ ke puncak hotel sambil melihat pemandangan Kota Lawang dari atas.

“Aslinya semua kamar di Hotel Niagara pakai kamar mandi luar. Jadi, Anda lebih menghayati suasana asli hotel ini,” jelas Zaini, salah satu pelayan Hotel Niagara.
Dibandingkan dengan hotel-hotel modern (berbintang), standar pelayanan dan fasilitas di Hotel Niagara memang masih belum apa-apa. Namun, hotel tua ini menawarkan keindahan, sensasi, tersendiri dari bentuk konstruksinya yang eksotik dan antik.

Di Hotel Niagara kita bisa menikmati sepuas-puasnya arsitektur tempo doeloe yang sangat menekankan pendekatan seni. Sebuah kombinasi gaya Brasil, Belanda, Tiongkok, dan Victoria yang menawan.


Spoiler for HANYA 14 KAMAR YANG TERPAKAI: Hide


Hotel Niagara awalnya dirancang sebagai vila pribadi milik keluarga Liem Sian Joe, pengusaha Tionghoa kaya pada era Hindia Belanda. Perlu kerja keras dan biaya besar untuk renovasi total.

Menurut ONGKO BUDIHARTANTO, pengelola sekarang, gedung setinggi 35 meter ini dibangun arsitek Fritz Joseph Pinedo selama 15 tahun sejak 1918. Di masa itu Lawang dan sekitarnya memang masih merupakan daerah peristirahatan yang sejuk, nyaman, dan sepi. Jangan heran banyak vila cantik dibangun di kawasan itu.

Pada 1920, masih menurut Ongko Budihartanto, Liem Sian Joe hijrah ke Negeri Belanda sehingga vilanya dipercayakan kepada ahli waris. Namun, karena jarang dipakai, vila itu kurang terurus. Kondisi ini berlangsung hingga masa kemerdekaan.

Setelah masa revolusi, bangunan yang pernah disebut-sebut ‘paling tinggi di Jawa Timur’ ini dijadikan rumah tinggal oleh beberapa keluarga. Tak jelas nama-nama penghuni vila, berikut bagaimana prosedur mereka mendapatkan hak pakai. Bisa ditebak, beberapa bagian bangunan menjadi kurang terawat. Mirip perilaku penghuni rumah susun di Tanah Air sekarang.

Baru pada 1960 ahli waris Liem Sian Joe menjual bangunan itu kepada Ong Kie Tjay, pengusaha Tionghoa yang tinggal di Surabaya. Keluarga-keluarga yang menginap di ‘rumah susun’ itu hengkang, dan mulailah Baba Ong membenahi bangunan tua itu.

Empat tahun kemudian, 1964, fungsi bangunan bertingkat lima diubah dari vila menjadi hotel dengan nama Hotel Niagara. Ongko Budihartanto, general manager sekarang, tak lain merupakan anak sekaligus ahli waris Ong Kie Tjay.

Tak mudah mengelola hotel sekaligus bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang itu. Persoalan utama, seperti diceritakan di atas, adalah citra bangunan yang sempat diberitakan negatif di masyarakat. Misalnya, tuduhan sebagai ‘rumah hantu’ hingga ajang bunuh diri. “Itu semua hanya isu dan omong kosong," tegas Ongko Budihartanto.

Selama 20 tahun lebih mengelola dan menetap di Hotel Niagara, Ongko mengaku belum pernah merasakan gangguan apa pun. Para tamu pun tak pernah mengeluhkan soal itu. Yang ada justru ungkapan-ungkapan positif tentang kehebatan serta keunikan Hotel Niagara. Kesan-kesan para tamu itu bisa terbaca di lorong-lorong hotel antara lantai satu dan dua, kemudian lantai dua dan tiga.

Saya mencatat beberapa kesan tertulis dari tetamu, khususnya orang asing. Hans (Belanda) mengatakan, “Bagus sekali.”

Begitu juga Aad Ham (Belanda): “Very unique, very beautiful… I never see like this in the world!” (Sangat unik, sangat indah. Saya tak pernah melihat seperti ini di dunia.) Jan van Schager, juga asal Belanda, mengatakan, “Imagine five storeys and elevator and elevator around 1900.”

Tak salah kalau para turis Belanda, yang datang untuk nostalgia itu, mengatakan Hotel Niagara ini unik dan antik. Sebab, menurut informasi dari beberapa sumber, keramik dinding dan bahan untuk lantai diimpor dari Belgia.

Lift kuno merek ASEA merupakan produksi Swedia tahun 1900-an. Lantai terbuat dari teraso berwarna yang dicor di tempat, bahan baku impor. Bahan kayu untuk jendela, pintu, plafon, dan sebagainya terbuat dari kayu jati kelas satu.

Persoalannya, seperti bangunan-bangunan tua lainnya, biaya perawatan tidak murah. Sementara jumlah kamar yang dioperasikan hanya 14 dari total 26 kamar alias hanya 50 persen. Bandingkan dengan hotel-hotel modern yang kamarnya berjumlah puluhan, bahkan ratusan.

Bisa dibayangkan berapa pemasukan Hotel Niagara ini setiap bulannya. Namun, sebagai hotel tempo doeloe, antik, orisinil, Hotel Niagara punya nilai lebih yang jarang dimiliki hotel-hotel lain di Tanah Air.

Ada baiknya pengelola Hotel Niagara mencamkan baik-baik pesan Henk Nos. Turis asal Belanda mengatakan, “Hotel ini monumen, harus dijaga dengan baik. Perlu renovasi dengan arsitek yang benar-benar ahli. Kalau itu dilakukan, Hotel Niagara jadi bintang seperti Hotel Raffles di Singapura.

bagi yang mau singgah dan tes uji nyali dalam perjalanan ke malang dari arah surabaya bisa mampir

Hotel Niagara
Jalan Dr. Soetomo 63 Lawang, Malang
Phone (0341) 596612

Tidak ada komentar:

Posting Komentar